Gunung Sumbing Via Garung Kalikajar Jalur Lama
Anaphalis Javanica |
Siang begitu terik. Mentari begitu sombong memancarkan panas
dari jarak 8,5menit cahaya. seakan mengatakan, berhenti saja mas, kau perlu berteduh dari panas ku ini. Sering saat-saat seperti ini aku bergulat dengan
kepongahan mentari. Dan di saat mentari bersinar seperti ini, muncul hal-hal
pikuk yang memompa kerja detak jantung untuk lebih keras lagi. Ditengah lautan
karbon yang keluar dari pantat kemajuan teknologi. Itu terlihat seperti tai-tai
yang mencemari hidung, yang mencemari udara bersih. Tidak menyalahkan zaman. Manusialah
yang bodoh yang tidak bisa mengendalikan. Dengan beberapa lembar kertas merah
yang kalian sebut rupiah ratusan ribu, kalian bisa membawa, menaiki kemana saja
kalian mau. Mau jarak sepuluh langkah, sejuta langkah, ribuan kilometer.
Terserah!
Saya berangkat pukul 10:00WIB tanggal 16 Agustus 2013. Tujuan
saya kali ini adalah Basecamp pendakian gunung Sumbing via Garung Kec.Kalikajar
Kab.Wonosobo. Saya dari Semarang lewat Bandungan, melewati Kaloran Temanggung.
Dari perempatan lampu merah saya tidak mengambil jalur kota. Asumsi saya lebih
ramai dan mungkin macet. Saya ambil kanan mengikuti arah Jakarta. Saya ikuti
jalur itu sampai Parakan. Papan petunjuknya jelas. Dan singkat kata saya sampai
di gapura selamat datang di Wonosobo. Maju sedikit ada bank BRI unit reco dan
terlihat ada MMT Gunung Sumbing kemudian masuk pertigaan tersebut. Basecamp ada
di kiri jalan. Yap, benar seperti instruksi dari pak Haris (mohon maaf kalau salah, saya
agak lupa dengan nama bapak ini).
Sampai sana saya masih sendirian, rombongan yang dipimpin dimas yang sudah
membuat janji dengan saya belum sampai. Malah katanya sampai di Kalianget,
dikira pos Garung untuk pendakian Gunung Sindoro. Saya beritahu lokasi Basecamp
Garung Sumbing itu di daerah Kalikajar. Hmm,,cukup lama mereka sampai basecamp.
Saya sempat menghabiskan 1 gelas kopi hitam.
Pukul 14:00 sampailah mereka di TKP. Ternyata banyak juga
yang ikut pendakian kali ini. Total ada 16 orang dengan saya. Registrasi per
orang 4ribu dan untuk parkir motor permalam 5ribu. Setelah selesai, kami
berunding untuk melewati jalur mana. Sebenarnya sama saja. Perpisahan jalur
dari pertigaan desa. Kanan kearah jalur baru, kiri kearah jalur lama. Dari dua
jalur itu, nanti akan bertemudi Pestan. Jika melewati jalur lama, view lebih
bagus dibandingkan dengan jalur baru. Akan tetapi tracknya lebih menanjak.
Tanjakan gunung sumbing melalui jalur lama hanya ada dua. Pertama dari desa
sampai pasar watu, dan dari tanjakan kedua dimulai dari watu kotak sampai
puncak. Lumayan ada bonus track begitu cerita pendaki yang saya terima. Karena
teman-teman ngikut keputusan saya, saya pilih lewat jalur lama dan turun jalur
baru. Deal!
Kita berangkat mendaki mulai pukul 15:00 WIB. Ketika sampai
perempatan desa, jalur baru mengambil jalan ke kiri, dan untuk jalur baru
mengambil jalan ke kanan. Sebenarnya ada
jalur terobosan yang nanti bisa sampai di jalur lama. Lebih cepat karena
langsung menuju ladang-ladang penduduk. Dari perempatan desa ini, mengambil
arah lurus, ikuti mentok jalan itu, kemudian ambil arah kanan. Setelah itu ada
pertigaan, ambil arah kiri, kemudian ikuti jalan tersebut. Jalan ini lebih
cepat dibandingkan jalan reguler jalur lama yang di perempatan desa mengambil arah
kiri. Yah, apapun jalannya, tujuan kita adalah menikmati ciptaan sang pencipta
semesta, dan merenung begitu kecilnya manusia dibawah sana namun masih bisa
berjalan dengan pongah, saling bunuh seakan hanya dia saja yang ada di semesta
yang begitu luas ini.
KM II dimulai dari ladang pertanian. Ketika mau masuk ladang
ini, ada dua tempat pemakaman umum. Terletak di kanan dan kiri jalan. Kadang
cukup mengagetkan juga kalau track dini hari. Tapi tenang saja. Tidak ada
apa-apa. Itung-itung nempa mental :D. Di ladang pertanian ini track cukup
menanjak. Hampir 60 derajat dengan tatanan batu-batu yang cukup rapi.
POS I yaitu MALIM, tempat ini cukup luas untuk beristirahat
sebentar. Di pos ini ada dua jalur, yang ke arah kiri, dan lurus. Keduanya sama
saja. Hanya jalur yang kiri lebih landai dan memutar. Jalur yang lurus lebih
cepat dan lebih terjal. Silahkan memilih sesuai dengan keinginan.
POS II yaitu POS GENUS terdapat area yang cukup untuk 8 tenda
ukuran 2 orang. Di bagian atas cukup untuk 4 tenda, dibagian tengah satu tenda
bisa juga dipaksakan 2 tenda, dibagian bawah 3 tenda. Kebetulan kami ber 16 dan
ditambah 2 tendanya mas Ambar dan kawan-kawan dari Kendal. Jadi total kami yang menginap di Genus ada 20
orang. Masih ada tempat untuk buat api unggun juga. Kami sampai di POS II ini
cukup lama. Sekitar pukul 19:30 WIB kalau tidak salah. Sebelumnya kami sempat
masak perbekalan dibawah. Kami memutuskan untuk membuat tenda karena ada salah
satu anggota terkena kram kakinya. Rencana kami Summit Attack pukul 01:00 WIB. Kami repack carrier kami dan kebetulan saya membawa
sampah-sampah yang ditinggalkan pendaki lain dan beberapa potong kayu yang
berserak dijalan yang kami lalui, untuk membuat api unggun. Saya jadi sedikit
masygul ketika ingin membuat api unggun. Saya ingat ketika Om Agus menceritakan
pengalamannya suatu ketika sedang digunung. Ketika itu Om Agus sedang membuat
api unggun dan ditanyai Arya. ”papa, ngapain bikin api unggun?”. Om Agus
menjawab, “ini papa bikin api unggun supaya arya juga tidak kedinginan”. Apa
jawab Arya anak umur 7 tahunan itu?. “papa kalau dingin jangan naik gunung pa.
Nanti apinya bisa membakar gunung”. Dengan segera Om Agus mematikan api unggun.
Disini saya jadi agak bimbang. Dan karena memang udara sangat dingin dan
beberapa teman mulai kedinginan, saya mohon maaf didalam hati tidak bisa
seperti Om Agus. Saya hanya baru bisa mulung sampah dijalanan. Belum bisa
menahan dingin gunung seperti ini .
Setelah api mulai jadi, beberapa teman sudah mulai masuk
tenda. Saya seperti biasa menjadi mendadak insomnia dan mengundang para insom
untuk berkumpul di api unggun. Ada juga mas Ambar dari Kendal gabung. Kami bercerita banyak
sambil berkali-kali menuangkan berbagai macam kopi. Dimulai dari granule, kopi
hitam, white coffe, sampai cappuchino.
Ini yang saya sebut pendakian dimalam hari itu boros air. Karena buat bikin
kopi :D.
Ketika pukul satu, saya coba bangunin teman-teman. Berbagai
macam jawabannya. Dimas cuma “eeeeehhhnnmmmmmm...” sambil membenarkan letak SB
nya, Kotrek menjawab “iya mas” dan Andro yang balas dengan dengkuran yang mirip suara motor tua mau kehabisan
bensin, dan tiba-tiba onderdilnya mulai logrok
satu-satu. Saya tertawa dan dalam hati berkata. Ini pendakian dimulai lagi
pukul 7 pagi. Saya lanjutkan obrolan sampai pukul 03:00 WIB. Saya menyerah
sambil krugetan didalam SB. Ada mas
ambar dan om lan a.k.a Romlan yang terjaga sampai pagi. Saya sedikit heran, untuk sekelas Kang RH Ramadhani yang sudah melanglangbuana didunia pendakian, kok sudah meluruskan pinggang di dalam tenda. Mungkin ingin istirahat beliau.
Benar seperti dugaan saya semalam. Pukul 07:00WIB semua sudah
repack dan siap summit attack. POS III yaitu SEDLUPAK ROTO yang
tadinya target kita untuk camp disini
sepertinya tadi malam juga penuh. Maklum hari ini adalah hari kemerdekaan RI.
Ya 17 agusutus 2013. HUT NKRI ke 68 dari penjajahan (fisik), kalau penjajahan
non fisik saya kira semua bisa memahami sendiri.
Diatas POS III ada PESTAN atau kepanjangan dari Pasar Setan.
Konon katanya dimalam tertentu disini ramai seperti di pasar. Hanya saja mata
kasar ini tidak bisa melihatnya. Disini ada satu pantangan yang perlu diingat.
Jangan mengeluh ditempat ini. Itu seperti yang tertera dipapan tembok basecamp.
Rasionalisasinya kalau mengeluh disini, jadi malas untuk summit attack, karena
disini tempatnya sangat luas untuk mendirikan tenda dan cukup terlindungi dari
angin. Ketika mengeluh, akan lebih memilih untuk camp disini dan nyaman.
Ahirnya menjadi malas untuk mendaki lagi.
Kami lanjut lagi sampai pasar watu. Saya jadi ingat
pengalaman dulu pertama kali kesini. Tatanan batunya masih mirip seperti di
pikiran saya. Hanya
Vandalism |
Kami lanjut lagi sampai PASAR WATU. Saya jadi ingat
pengalaman dulu pertama kali kesini. Tatanan batunya masih mirip seperti di
pikiran saya. Hanya yang saya sayangkan adalah bebalnya otak para pendaki yang
menulis namanya atau (bahkan) nama organisasi pecinta alamnya (yang biasanya
diahiri dengan kata “pala”) di bebatuan dengan menggunakan cat semprot. Ada
juga yang saya lihat dengan cat dan ukiran menggunakan benda tajam. Hal ini
menandakan mereka dengan sengaja mencoreti bebatuan ini. Saya masygul kembali.
Mereka yang mendaki gunung ternyata yang merusak gunung juga. Ini ibarat bilang
“aku cinta kamu sayang” terhadap pacar, tapi ketika libido meninggi tidak mau
menahannya malah kemudian memperkosanya. Ah, ini bukan seorang lelaki. Ini
masih ababil, atau ABG. Kelas terendah dalam derajat manusia.
Dari pasar watu inilah ada bonus yang ditunggu-tunggu.
Jalanan turun. Yes....view disini selalu membuat saya merinding. Karena
ketinggian iya, karena saya jadi terlihat lebih kecil dari ukuran tubuh
saya normal :D.
Setelah mendaki sebentar, kita menemukan WATU KOTAK. Sama
saja disini. Banyak sampah yang ditinggalkan. Mereka yang bikin tapi mereka gak
mau urus. Hayooo, kalau dilagukan jadi seperti lagu dangdut ini. “angge-angge orong-orong orak melok gawe
melok momong”. Tanah WATU KOTAK tidak pernah membuat sampah. Malah
menyediakan tempat yang hangat dan terlindung dari hantaman badai dan hujan bagi
para pendaki. Namun pendaki dengan percaya diri dan keyakinan penuh,
meninggalkan sampah. Air susu dibalas dengan air kencing. Ah, lagi-lagi tingkah
manusia. Ya ini tidak semua pendaki seperti ini. Hanya beberapa saja. Dan saya
sedang mencoba menyadarkan “beberapa” ini. WATU KOTAK tidak membuat sampah,
namun ikut merasakan busuknya sampah. Diperjalanan pulang saya menemui dua orang pendaki yang sedang istirahat. Salah satunya tiba-tiba beranjak sambil membawa sebuah kotak. Saya lihat seperti edelweis didalamnya. Saya bertanya, itu edelweis ya mas. Untuk apa?. Dengan senyum sumringah dan mulut melebar seperti mulut sapi dia menjawab untuk pajangan dirumah. Aduh!
Kami yang sudah terpisah menjadi beberapa bagian berkumpul
lagi disini. Tria yang aku lupa nama aslinya dengan Aji, Hendra dan Om Lan a.k.a
Romlan sudah sampai dari tadi. Kami masak nasi dan mie dan pukul 13:00WIB. Kemudian
kami kembali meneruskan summit attack. Diperjalanan saya melihat
keindahan suhu warna yang beragam. Dimulai dari hijau sampai ke biru. Sungguh
spektrum yang langka bagi mata saya. Jika saya kira-kira disana suhunya 2400
Kelvin. Ah, saya tertegun melihat ciptaan Sang Pemilik Dunia ini.
Sampai di PUNCAK BUNTU jam tangan saya menunjukkan pukul
15:00WIB. Pertanda begitu lamanya jarak yang ditempuh. Tapi kami bersyukur
dengan menyanyikan lagu indonesia raya dengan setulus hati. Ada juga yang
membaca ayatullah ditebing puncak
3371 mdpl ini. Ada yang shalat juga di ketinggian yang tipis oksigen ini. Ada
juga yang hanya terdiam sibuk bergumul dengan sepoi angin, ketinggian, dan
Tuhan. Atau ada juga yang sibuk foto-foto J.
Saya juga ikut rombongan yang terahir itu juga ahirnya. Biasanya saya
hanya jadi tukang foto mereka. Tumben ini saya mau ngotot gabung.hehe :DD
anaphalis javanica |
Pukul 15:30 WIB kami mulai turun yang diawali dengan kiriman
doa untuk semua para pahlawan yang sudah mengorbankan nyawanya untuk satu
kesatuan NKRI ini. Yang mengorbankan nyawanya sehingga kami dapat dengan
sukacita mendaki gunung-gunung di nusantara ini. Dan juga para leluhur di
Gunung Sumbing ini. Semoga selalu mendapatkan tempat yang layak di SisiNya. Allohumma firlahum warhamhum wangafihum
wakfunganhum waj ngalil jannaa matswah, Sabbe Satta Bhavanthu Sukhi Tata,
Rahayu.
Perjalanan saya dari puncak tertinggal rombongan. Kaki saya
mendapat kenang-kenangan dari Gunung
arjuno yang sebelumnya saya daki. Sehingga jalannya agak timpang. Untuk dibuat
lari, juga senut-senut, untuk dibuat jalan lambat juga nut-nut dan juga lambat.
Tapi dibelakang saya ada Agil Al Atas yang engkelnya kena dua-dua nya. Ah,
bagaimana ini ya rasanya. Saya satu saja sampai begini rasanya. Bagaimana 2?.
Ahirnya saya berikan track pole saya. Rencana saya mau pulang ke
rumah duluan. Teman-teman mau menginap di base camp. Saya rasa tugas saya menemani
jalan sampai puncak sudah bisa diteruskan oleh teman-teman saya sendiri untuk
kembali ke Basecamp. Oleh karena itu, saya mengejar urusan saya yang lain. Kebetulan
saja kakak sepupu saya mau menikah.
Sindoro dari sumbing |
Singkat kata saya pamitan dahulu dengan teman-teman dan
sampailah mereka di basecamp pukul 12 malam. Tetap solid mereka walau udah
capek, egoistis masih bisa terjaga. Mau menemani teman yang sakit dengan jalan
bareng-bareng. Memang begitulah solidaritas antar pendaki. Tidak seperti di
film 5cm. Ketika ada yang kena batu, yang lainnya Cuma lihat tanpa (seolah) mau
membantu. Cmiiw :D
Comments
Post a Comment