Ziarah Kenangan - Catatan Perjalanan Ke Gunung Arjuna




Ini adalah catatan ziarah kenangan kami berempat. Jika kalian termakan pola hasutan bahwa kenangan sebagai suatu hal yang biasa di cie-cie in, minggirlah kalian.  Silakan buka official page meme-meme comic yang kalian favoritkan.
Oke, sesuai ide tulisan eko, yang mengurutkan penyebutan nama sesuai tinggi badan, saya mulai dari yang Paling jangkung kerempeng, yang kami percaya sebagai Peta berjalan dan juga search engine kami. Dilanjutkan overweight Ugie sebagai wiseman jika Saya dan Eko berdebat kusir. Disusul Wawan sebagai seorang pemalu dan juga pendiam yang menjadi penentu kemenangan debat kusir antara saya dengan eko, yang bisa memihak siapa saja tergantung perlakuan sebelumnya kepada wawan. Jadi resepnya, kasih dia sesuatu, dan debat dimenangkan pemberi. Terahir adalah saya, Mamat. Paling kecil dan herannya saya bingung mendeskrisikan saya sendiri. Tak apalah, ini ziarah kenangan, bukan sebuah resume curriculum vitae  yang kalian buat usai penerimaan 2 lembar kertas apresiasi atas usaha setengah hidup kalian mengikuti perkuliahan. Ijazah!.
Izinkan saya memulai cerita dengani masalah klise yang menjadi hambatan setiap kegiatan, yaitu ketiadaan biaya. Kami berempat berinisiatif mencari ide untuk mehilangkan hambatan tersebut. Dimulai dari iuran bersama, sampai mencari rongsok kami jalani. Kebetulan kami adalah mahaSisa angkatan duaribu tua, mempunyai teman-teman yang masih sibuk dan sudah menyelesaikan perhelatan akbar mereka (baca : skripsi). Tentu saja mereka mempunyai berbagai macam koleksi tak terhiraukan berupa sampah-sampah kertas. Kami kumpulkan berbagai macam remah skripsi mereka. Tak perduli dengan mahasiswa saja, kenalan dosen maupun petugas kebersihan kampus yang kami rasa kesusahan membuang sampah kertasny, kami temui dan kami bantu. Usaha ini membuahkan kebanggan sampai 6 tahun berikutnya. Yaitu saat ini ketika saya menulis ulang kenangan perajalanan kertas kami. Mungkin inilah embrio saya untuk terus berdagang.
Oiya, catatan kaki berkarat ini saya tulis ulang dengan draft catatan perjalanan saya yang dibantu ingatan tajamnya eko. Salah satu hal yang masih terapung di permukaan ingatan adalah ketika eko bisa menyebutkan semua nama kecamatan yang dilewati bus tumpangan kami dari malang sampai bondowoso. Saat itu kami belum mempunyai smartphone yang bisa merekam kejadian tersebut. Suatu saat saya akan berbangga melakukan perjalanan tanpa gangguan gadget ini. Catatan eko menyebutkan kami berhasil mengumpulkan uang sebesar IDR 291.K. Tak seberapa jika dibandingkan dengan “harga material” uang sebesar itu di masa sekarang. Kaos yang kalian pakai untuk tidur malam ini, harganya bisa 150% lebih mahal dibanding dana tunas perjalanan kami ini. Kami sepakat iuran atau mungkin lebih tepat mengurangi jatah foya foya makan di warteg dan rela beli sayurnya saja demi sebuah tujuan bersama, hingga terkumpul kurang lebih IDR 650.K. Sekali lagi, masih mahal sepasang sepatu yang akan kalian pakai esok hari kan?.
Itinenary yang disusun eko mengarah pada Hari Senin tanggal 3 Oktober 2012 dengan tujuan adalah Gunung Arjuno Welirang Malang Jatim. Sang Planner, eko, sengaja memilih gunung karena kami berempat memang bukan tipe manusia yang bisa menikmati sesuatu yang disuguhkan hiruk pikuknya perkotaan, melainkan menikmati hening dan sunyinya hutan gunung. Gunung bagi eko adalah “tempat untuk bisa lebih memahami siapa diri saya, dan belajar lebih menghargai alam sebagai tempat kita berpijak” (walaupun bagi saya kalimat itu sangat taik sekali,  namun memang benar begitulah esensinya). Sallute.

Senin 3 Oktober 2012
Yes, we love Monday, tanpa karena yang dibuat-buat, kegembiraan hari Senin adalah kegembiraan anak generasi 90’an yang akan melakukan pariwisata sekolah. Malam enggak bisa tidur, persiapan macam-macam yang enggak penting guna menutupi kegelisahan “horeee..ahirnya...aku besok bakal keluar rumah” itulah awal mula perjalanan kami mulai. Eko menulis “Seperti kentut yang sudah tidak bisa tertahan, menggambarkan rasa ketidak sabaran kami memulai petualangan baru di Bumi Majapahit”. Kampret..!! bumi majapahit disandingkan dengan kentut tak tertahan. Analoginya tolong mas. Catatan lain menyebutkan bahwa hari itu pengajuan judul skripsi saya (yang saya proyeksikan akan menjadi cikal nikmatnya berjalan kaki di gunung timbang garap skripsi) ditolak. Saya asikin saja dengan memulai perjalanan baru. Jam mengarah angka 4 dan jarum panjang menurun di angka 6, kami gaskan tipis-tipis mengikuti aspal SemarangNgawi. Check Point pertama. Walikukun. Di rumah Wawan
Mrs Bachrun menyambut kedatangan kami dengan cobek batu lebar yang berisi sambal terasi favorit kami. Apakabar Mrs bachrun?, semoga kami selalu #tobatsambal untuk mampir di walikukun. Saat itu saya tak ada rindu-rindunya dengan Wawan. Ngapain rindu dia, mit-amit, ogah.!. Namun catatan ziarah kenangan ini, membalikkan keadaan.
“nikmati kebersamaan ketika berkumpul dengan sebaik mungkin, kalian akan menyesal ketika masa muda dihabiskan oleh rutinitas 07-17 dalam ruangan sempit berisi check list deadline atasan. Waktu bersama adalah pemberian yang tak bisa di ulang. Singkirkan sejenak Gadget bangsat kalian. Ngobrol.”
Dan, tanpa Wawan, perbincangan hanya seputar debat nggak mutu Saya dengan Eko, dan ugie  bersedekap menonton diahiri dengan kata pamungkasnya, Mantab.
Briefing kami diahiri dengan keputusan menuju Malang melalui Mojokerto dengan bus jam 1 malam. Walikukun – Gendingan, kami diantarkan Mr Bachrun. Terimakasih Beh.

Rabu, 4 Oktober 2012
01.00 WIB.
Gendingan. Sebuah terminal kecil di Kabupaten Ngawi yang saat belum di akuisisi kabupaten sebelah dan masuk Jawa Timur Jawa Timur. Wilayah administratif ini mengalami defisit dan pemasukan daerah minim. Bagi saya, Ngawi adalah kebun tebu dan rumah-rumah kayu nya, cihui.
 PO. EKA jurusa Solo – Surabaya berhasil kami naiki, berjalan menuju Mojokerto. Bus dengan mesin Hino dengan baju Legacy buatan Laksana itu, menembus aspal Jawa timur dengan kecepatan sangat-sangat taik. Fast furious feel. Ini adalah game balap dengan teknologi grafis melebihi 10 kali teknologi “sword art online game”. Eka dan Sumber Selamat serasa di lintasan 201 M. Doa ibu sepanjang 201 M sangat terasa disini. Finish line terminal Madiun, EKA merebut podium 1 tanpa tropi. Menyisakan makian gembira dari kami berempat sepanjang perjalanan.
05.30 WIB
Terminal Kota Mojokerto.
Camilan tahu Walikukun olahan Mrs Bachrun, penuh mengisi rongga lambung.
Repacking,
Bus busuk ¾ ,yang eko sampai lupa nama PO nya, dibayar IDR 6.K per nyawa, menuju Japanan, Kecamatan Gempol, Kabupaten  Pasuruan. Japanan adalah pertigaan dimana terletak persimpangan jalur menuju arah utara (Surabaya), selatan (Pasuruan dan Malang), serta ke arah barat (Mojokerto dan Jombang). Ini adalah ingatan Eko. Saya Cuma iyain aja, karena emang ngga tau.
Pagi itu, udara segar terhirup penuh, sebelum kontaminasi karbon cerobong pemilik modal mengisi langit kecil Japanan kiriman dari langit Pandaan. Kota dengan populasi pabrik. Diarsir pemandangan para seragam putih abu-abu sampai celana pendek biru baju putih dan polesan seragam warna warni para karyawan pabrik, ,menunggu angkutan.
Tujuan selanjutnya, Pandaan. Kota pabrik.
Melihat gembel berkeril besar kami, calo atau kernet sekitar menawarpaksa tujuan kami ke Tretes. Dengan iming-iming akan diantarkan langsung ke Tretes. Menggiurkan, karena setahu kami tak ada angkutan yang langsung menuju Tretes apabila kita naik dari Japanan. Paling jauh ya sampai terminal Pandaan. Sepertinya kernet itu punya ajian jarangoyangsemarmesem. Kampret.! Kernet kadal!. Kami di turunkan di pangkalan angkutan menuju Tretes. Dan sebelumnya dipalak alias dipaksa membayar tarif diatas rata-rata. Japanan – Pandaan (3rb). Banyak review menyebutkan tarif  per orang dua ribu. Seribu jadi masalah besar ketika dikali 4 dan diakumulasikan debat saya dengan eko. Sekalipun Ada sisi baiknya. Kami diantar ke angkutan Pandaan – Tretes. Menghindari kemungkinan lama teronggok di pinggir jalan dengan tumpangan L300 jurusan Pandaan – Tretes tarif 6 ribu rupiah. Tuhan  selalu punya rencana asyik yang bagi akal sangat nggapleki. Sopirnya berasal dari Kudus. Dan obrolan mengalir hangat. Eko santos berada di depan menemani sang sopir dengan setia melalui obrolan dan hisapan rajangan daun tembakau di ujung pipa. Ugie dan Wawan duduk pada satu deret bangku di tengah. Sementara saya asik bermain dengan kamera baru milik Wawan di kursi belakang. Dengan kondisi seperti itu, agaknya lebih mirip sebuah mobil pribadi daripada angkot.
 Arjuno itu terlihat gagah dan sejuk. Villa berbagai gaya arsitektur berderet di sepanjang jalan. di sisi utara kami Penanggungan yang seperti miniatur Sindoro anggun dengan puncak kerucut sempurna. Wawan dan eko takjub puncak panjang Arjuno dan Welirang. Beberapa tahun kemudian, mereka berdua berhasil mengunjungi Welirang. Ugie gagal keduanya karena kaki cedera, saya bisa melewati singgasana ogal agil bersama Eko. Pandangan takjub kepada  Arjuno Welirang, hanya memberikan berkah kepada si keras kepala, eko.
30 menit. Kami sampai di Basecamp jalur pendakian Arjuno – Welirang via tretes, Kantor Taman Hutan Raya (TAHURA) Raden Soeryo. Kami berhenti di Hotel Surya. Diseberang sana, bayangan perjalanan baru pendakian kami, dimulai.
Dan Tuhan bermesra lagi
Rupanya kami terlalu awal datang, dibanding petugas TAHURA. Saluran cerna kami mulai minta jatah, lantaran fast furious feel dini hari tadi. Kami sarapan di sebuah warung dekat dengan pos perijinan tadi. Hidangan khas Jawa Timur tentu yang disuguhkan. Kami memesan pecel.

Empat piring dengan menu yang sama ditemani warna-warni gelas yang terisi minuman yang berbeda-beda tersaji di depan mata kami. Tiba-tiba suara parau dari seorang perempuan separuh baya menghentikan laju sendok kami untuk mulai memasuki mulut. Sang perempuan berkata:
“Wahai anak muda, untuk apa kalian datang kemari?. Jika jawaban kalian untuk mendaki Gunung Arjuno ataupun Welirang, ketahuilah kalian sedang menginginkan sesuatu yang percuma”. Tiba tiba keluar asap putih dan sang perempuan terbang ke langit 7.
Sesaat setelah berkata demikian, perempuan itu kembali mengayunkan gerombolan batang lidi di tangannya mencoba membersihkan kembali wajah bumi dari kotoran.
“Maaf Nyai Sanak, apa benar informasi itu? Jikalau benar, tentulah kami dalam kesusahan yang nyata.”
Jawab mamat, seorang alter-ego dengan wajah murung.
Dengan segera the wise man menepuk pundak alterego itu, memberinya tisu.
Kami menunggu kedatangan petugas PHPA TAHURA Raden Soeryo terlebih dahulu.
30 menit kemudian seorang petugas datang dan menghampiri kami. Dan Tuhan Bermesraan dengan kami. Sekitar Lembah Kijang kebakaran. keempat penjuru pintu masuk ditutup. Lawang, Purwosari, dan Batu.
Eko, masygul. Haruskah kami pulang? Kembali ke Semarang, dan seperti banyak petuah di instagram. Jangan mengambil apapun di gunung kecuali hikmah nya saja. Bullshit, nih taik kebo buat kamu.
Sejenak kami sewa warung itu sebagai tempat rapat. Dan sepakat, akhirnya kami tunda mengunjungi tiang pancang ke empat di Jawa ini. Arjuno belum mengizinkan. Tunggulah tuan, kami akan tunjukkan niatan silaturasa kami kepada engkau, Arjuno.
Bersambung......

Comments

Popular posts from this blog

KONTAK BASECAMP GUNUNG SE-INDONESIA

Pendakian Gunung Prau Via Pranten Kab.Batang Jawa Tengah

Tips Mahasiswa Mengumpulkan Tugas Ke Email Dosen