catatan perjalanan : SUMBAWA , Tanah Samawa dengan pesona tak terhingga , Private Beach, Snorkling tanpa tiket
DOC : pribadi |
Tepat waktu atau memang
kebetulan ketika sampai rumah yang saya tuju, pintu akan dikunci. Sore ini
menjadi sore yang cukup mengharukan dan juga sedikit sibuk, setidaknya untuk
keluarga teman saya ini. Saya tinggal kunci dan STNK motor saya. Tak lupa juga
meninggalkan beberapa pisau yang biasa saya kantongi. Saya kembali menyusuri
jalan yang baru saja saya lewati. Melewati shelter-shelter kayu jati
gelondongan, trailer dan truk-truk dengan tonase yang besar parkir di pinggir
jalan. Sudah jadi rahasia umum, terkadang ada juga wanita-wanita bawaan para
supir. Sembari mengirim pesan pamitan kepada Ibu saya, saya mendengarkan
candaan hangat keluarga teman saya ini tentang pulau seberang yang nanti akan
kami lewati. Tujuan kali ini adalah Desa Aikangkung, Kecamatan Sekongkang, KSB,
NTB. Eko akan tinggal disana dan saya mengantarkan. Rencananya, kami dari
Stasiun Pekalongan naik Kertajaya sampai Pasar Turi kemudian pindah ke Gubeng
naik Probowangi sampai pojokan rel Pulau Jawa. Harusnya pojokan rel adalah
Panarukan, namun berhubung sudah tutup jalurnya maka saya sebut saja Banyuwangi
sebagai ujungnya.
12/02/2015.
18.15 WIB – Stasiun Pekalongan
Kurang lebih 45 menit perjalanan
kami dari Subah sampai Stasiun Pekalongan. Pukul 18.45 WIB, petugas
memberitahukan kereta yang akan kami tumpangi sudah datang. Cukup mahal untuk
tiket Pekalongan-Pasar Turi yang kami pegang saat
ini sebesar 135ribu per orang. Menurut petugas loket, tarif akan turun sekitar
bulan April tahun ini.
Kami pamitan dan berangkat ke Pasar Turi. Kami sampai di
Pasar Turi pada pukul 12:45 WIB ke esokan harinya. Kereta selanjutnya start
dari stasiun Gubeng pukul 04:30 WIB. Kami masih mempunyai beberapa jam untuk
istirahat. Pasar Turi cukup besar dan bersih stasiunnya. Kami mencari mushola
dan smooking area yang berada di sisi
selatan. Untuk pintu keluar berada di sisi utara. Saya tidur sampai pukul 03:41
WIB, Eko yang entah galau atau ingin menjaga barang bawaan tidak tidur.
13/02/2015.
03:50 – Stasiun Pasar Turi ke Gubeng
Ada beberapa pilihan untuk
sampai ke Gubeng. Ada taksi dengan tarif kurang lebih 30-50 ribu (mungkin
karena malam juga), Ojek dengan tarif kurang lebih 30 ribu per orang, naik
angkot 2 kali yang katanya tarif berkisar 10-20 ribu, atau becak dengantarif
35ribu. Ahirnya kami jatuhkan pilihan dengan naik becak melewati jl. Raden
saleh, jl. Bubutan, pasar genteng sebelah flyover,
dan sampai stasiun Gubeng. Kalau dikira-kira hanya berjarak 14 km saja dari
Pasar Turi. Sesampai di gubeng kami beli
nasi bungkus seharga 5 ribu, dan segelas kecil kopi item seharga 3ribu. Air
mineral ukuran sedang 3 ribu.
Kereta berangkat tepat waktu dan
kami sampai di Banyuwangi Baru pukul 11:41 WIB. Sesuai tulisan di tiket. On time. Karena kami cukup kelelahan dan
kerepotan jika jalan kaki ke masjid, kami berniat untuk jama ta’khir sholat sesampai
di kampung Melaya nanti. Pukul 12:30
WIB, ahirnya kami bertemu dengan Pak Harry bagian Kalog untuk mengambil motor
yang sudah kami kirimkan dari Pekalongan.
Fyi saja,untuk kalog pekalongan bisa menghubungi Pak Nanang. Cukup murah
jika dibandingkan ekspedisi lainnya. Sempat terpikir motor langsung dikirim ke
Aikangkung. Namun ternyata ongkir
hampir sama dengan membeli motor bekas juga. Ahirnya dipilih opsi mengendarai
motor dari Banyuwangi-Aikangkung. Lebih hemat, lebih banyak perjalanan, lebih
banyak pengalaman. Kami makan terlebih dahulu di warung kamila dan habis 65
ribu untuk 2 porsi makan lauk cumi dan hati ayam, ditambah kopi, jus, sebungkus
rokok dan promagh. Bi ismillahi ar rahman ar rahim, perjalanan
Banyuwangi-Sumbawa dimulai.
Pukul 13:30 WIB, kami sampai di
pelabuhan Ketapang. Tiket Gol.2 kami kantongi seharga 25ribu untuk satu motor.
Perjalanan menyeberang kurang lebih 1 jam dan kami langsung perjalanan ke
kampung Melaya. Pukul 16:23 WITA, kami berhenti di masjid Nurul Yaqin,
candikusuma, Tuwed, kec Melaya, Kab jembrana, Bali. Hujan sempat agak deras dan
kami istirahat sebentar.
Pukul 18:00 WITA, kami berhenti
melepas mantel di Pakukutan. Lokasi di Pakukutan cukup bagus untuk dijadikan
destinasi. Saya membayangkan naik karavan, dan buka tenda di tepi pantai.
Pantainya pasir hitam dan di pinggir pantai banyak pohon kelapa dan rumput yang
hijau menyegarkan mata. Sayangnya saya tidak sempat mengambil foto di
sini.
Arah perjalanan kami dari Pakukutan adalah Denpasar-arah
Sanur-Gianyar-Bypass jalan I.B Mantra-Padangbai. Seingat saya dari arah
perjalanan dari timur, ada pertigaan menuju kota (ada tugu kecil ditengah)
kalau lurus adalah jalur searah, kemudian kita ambil arah kiri kemudian kanan
lurus. Ketemu dengan perempatan besar,
ambil ke kiri arah Denpasar. Ada petunjuk jalan di sebelah kiri atas. Ikuti
jalan tersebut dan cari arah sanur. *ada pertigaan ‘Y” kalau ke kanan arah
pantai sanur, ambil yang kiri* itu lurus nanti ketemu gapura papan Bypass
Jl.Ida Bagus Mantra. Dahulu sebelum ada bypass ini kalau mau ke padangbai harus
lewat Amlapura dahulu, melewati perkampungan dengan jalan lebih rumit dan lebih
jauh. Setelah mengikuti bypass ini nanti
akan ada pertigaan kecil. Di sebelah kiri jalan, ada SMK kalau ndak salah. Kalau lurus ke arah Amlapura,
ambil belok kanan. Ikuti jalan tersebut dan sampailah di Pelabuhan Padangbai.
Fyi aja kalau ingin shalat ada masjid disebelah pelabuhan. Arahnya masjid
adalah jalan yang sebelah kanan (kalau ke kiri adalah jalan masuk ke
pelabuhan). Ikuti jalan kecil tersebut nanti di sebalah kiri jalan ada gapura
kecil. Masuk. Biasanya masjib akan tutup pukul 10 malam. Tambahan nih, sebisa
mungkin hindari sampai Pelabuhan lembar pada dini hari, usahakan setelah terbit
matahari. Sekedar jaga diri saja.
Kami baru masuk ke pelabuhan sekitar pukul 11:10 WITA dan
motor baru bisa masuk kapal ketika pukul 02:00 WITA. Cukup lama antri karena gate kapal yang
tadinya ada 2, salah satunya roboh. Saat itu saya lihat masih dalam perbaikan.
Yosh.....perjalanan kapal selama 5 jam kedepan siap dimulai.
Agak kaget saya ketika naik rest room yang ternyata penuh. Bahkan sampai dak kapal atas, VIP
room, smoking room, dan ahirnya kami
senderkan keril 90 liter saya di depan canteen.
Eko sudah tepar nglongsor juga. Fix dah tidur disini.
Sepertinya agak cepat 30 menit dari perkiraan saya, karena pukul 06:30 WITA
sudah sampai di Pelabuhan Lembar. Lanjut dah ke Narmada. Sampai di Narmada,
tepatnya di depan Taman Narmada pukul 07:48 WITA. Nyarap dulu sama seafood. Sengaja saya pesan teh karena
tiba-tiba ingin minum teh khas Jawatimur-an.
Sewaktu saya di pasuruan habis
nanjak Arjuna, tehnya pakai vanila. Wuiihh, itu mantab kali rasanya. Namun,
disini ternyata berbeda rasanya, ada sedikit rasa “mirip” kopi di teh itu. Warnanya
gelap juga. Berbeda dengan teh di Jawa juga sih :D. Ketika kami disini, Eko
dikabari bahwa Susana, teman kami, mau nikah. Duh dek, baru dikangenin eh malah udah nikah. Besok kalau udah
nikah ndak isa ngejek nih. Udah ada
pawangnya ;p.
Usai makan kami mlipir
ke Tanak Beak dahulu, menemui kenalan Eko disana. Pak Aulia yang ternyata
setelah ngobrol kesana kemari, punya teman yang sekantor sama Bapak. Ah,
jauh-jauh ke Lombok, ketemu saudara juga :D. Disini kami rest dari jam
10.30-15:00 WITA :D. Disini-pun istri
Pak Aulia juga dari Jogja. Aih, kemana-mana masih ada saudara rasanya kalau
begini.
Kalau melihat jam dan melihat sudah jam setengah 6 sore,
biasanya saya kelabakan belom mandi lah, belom shalat ashar lah, belom ngasih makan kucing, dll. Namun kali ini jam 6 terasa
beda. Masih terasa hangat sinar matahari dan rona jingga masih menggelayut
manja. Rasanya hommie disini. Secangkir kopi menemani, didepan mata
ada hijau terhampar, naik-kan
pandangan sedikit disambut jingga yang berusaha menutupi biru cakrawalawa, dan
samar-samar juga teriakan anak-anak kecil bermain disertai dengan kicau burung
yang entah apa jenisnya terkadang sliweran
di atas saya.
Lepas maghrib,
saya ingin muter-muter kota mataram
dan ingin cari carabiner saya yang
hilang. Oke fix, kali ini tujuan adalah outdoor
store dan spot apapun yang enak
untuk nongkrong. Malam itu kami buta arah. Hanya bermodalkan tanya orang dan
cari papan petunjuk arah, kami menemukan Eiger Store yang beralamatkan di Jl.
Panca Usaha No.29F. Cakranegara Mataram. Lumayan, ada beberapa store lain juga . Rei, Consina, dan Petualang
(kalau ndak salah) yang berada di
sepanjang jalan ini. Fyi aja, jalan yang kami lewati ini adalah satu arah. Nah,
dari outdoor store ini lurus terus,
abaikan perempatan, nanti sampai Alun-alun Udayana salah satu tongkrongan yang
cukup ramai, katanya. Namun, entah kami sudah melewati atau memang kami sudah
di Udayana, kami merasa kurang cocok dengan lokasinya. Karena kami mengharap
makanan khas Lombok dan kami tidak menemukannya. Kami lanjutkan saja dengan
mencari arah ke Sweta, dan kami tersesat. Kalau dari yang saya catat, kami
tersesat ke jl. Panjitilar-ampenan,-jl sultan silahudin-karanggede-pagesangan
barat-karanganyar mentok ketemu pertigaan gede
ambil kiri sudah jalur ke sweta. Kemudian kami mencari lokasi tempat jualan Plecing kangkung yang paling enak. Saya
lupa jalan sampai kesini, hanya yang saya ingat adalah lokasi ini di depan dealer Yamaha Sweta dekat jembatan
penyebrangan. Warung ini buka di emperan toko yang kalau siang menjadi bengkel
sepertinya. Menu yang ada dipesan semua oleh Eko. Ada plecing kangkung (2 porsi),
sate rembiga (2 porsi), beberuq (2
porsi), dan ayam taliwang (1
ekor). Buset, ini banyak banget. Ahh...biarin dah, kapan lagi
saya bisa nikmatin makanan ini lagi kalau ndak sekarang. Beruntung waktu itu
saya cukup kosong perutnya, jadi saya angkut ke perut dah itu semua makanan.
Kalau dari lidah saya yang terbiasa makan makanan yang cenderung manis, otak
saya lelet menerima sinyal dari lidah
saya tentang kuah sate rembiga.
Sampai tulisan ini saya tulis, saya masih ingat rasanya. Ada seperti rasa
kelapa, kencur, kacang yang di haluskan, (mungkin) kunir, dan beberapa rempah
saya kira. Berbeda dengan beberuq
yang berisi mentimun, terong yang bulet itu (-bukan yang lonjong ungu *entah
apa namanya), dan sedikit kuah yang kalau dimakan bener-bener mak-nyuuuss kalau om Bondan bilang.
Berbeda lagi dengan plecing kangkung. Isinya
adalah kangkung (kangkung disini berbeda dengan kangkung yang saya biasa makan
di Jawa. Disini walau sudah dimasak, masih terlihat segar. Atau mungkin teknik
masakanya yang beda?. Disini saya makan kemangi juga beda. Lebih wangi,
kemanginya. Wangi-nya lebih menusuk
hidung namun masih sama-sama segar dilalap. Oh
ya, ayam taliwang seperti ayam
kampung sepertinya. Kalau ayam pedaging saya hafal tekstur dagingnya. Nah, yang nanti akan menjadi bahan
kekagetan saya ketika sampai di Sumbawa adalah harga makanan juga. Karena
begitu nikmat dan banyaknya yang saya makan
tadi hingga saya sampai berfikir “lidah mana yang kau dustakan??”,
harganya 45 ribu rupiah saja. Lidah mana
yang kau dustakan? ;p
Malamnya, kami ngupi bareng
dengan Pak Aulia dan Edjan sampai agak malam. Edjan adalah tetangga Pak Aulia
yang mengalami Slow Learning, namun
jujur orangnya.
15/02/2015 – Tanak Beak
01:04 WITA, saya melirik jam di handphone. Saya sempatkan repack keril, shalat dan mencatat semua
hal yang sudah saya lewati semenjak saya bangun tidur.
Waktunya tidur sampai subuh. Selamat tidur Semarang, Bali,
dan Lombok.
Kami kecolongan bangunnya, dan terbangun jam 8 pagi. Sial.
Perjalanan kami kurang lebih 2 jam untuk sampai ke palabuhan kayangan. Jalur yang harus kami lewati adalah
Narmada-Lotim-Mas Bagik- Anjani-Suralaga (-disini banyak yang jual bantal dan blemeng) – aikmel (nah,
diperempatan ini saya merasa masygul, ingin rasanya saya mengambil jalan lurus
dan tidak belok kanan. Sekiranya saya
tidak ingat yang saya antar ini adalah seorang pengajar mungkin sudah saya paksa habis-habisan untuk
mampir barang sehari dua hari ke tahta Dewi Anjani dan membasuh muka di Segara Anak di
balik awan tersebut.
13:00 WITA -
Pelabuhan Kayangan
Pukul 13.10 kami sudah berada di kapal, bongkar sauh dari
pelabuhan kayangan menuju Tanah Samawa. Hawa semromong atau angin panas terasa mengejar tubuh saya untuk melepas
jaket. Saya sempatkan melihat ujung tanah yang menggendong Segara Anakan, Gunung Rinjani. Dari laut lepas ini saya bangga bisa mempunyai tumpah darah dengan
berbagai macam keindahan ciptaan Tuhan. Rinjani salah satu keagungannya.
Sampai di Tanah Samawa, teman saya kaget karena sudah ada retail yang sudah berdiri. Ada dua buah
lagi. Dia menceritakan kalau disini katanya tidak boleh didirikan retail macem gituan. Namun sekarang
sudah nyata berdiri. Terlihat sedikit
kontras dengan suasana di Jawa. Di depan retail
modern ini, saya duduk bersebelahann dengan sapi. Memang di Sumbawa
rata-rata hewan peliharaan di lepas begitu saja. Makan ya cari sendiri, besok
kalau dibutuhkan ya ambil dijual atau dipotong. Selain sapi, tentu saja kuda,
kambing, dan achong. Achong merupakan sebutan untuk anjing di
daerah lombok. Saya jadi teringat seseorang yang sering dipanggil dengan nama
tersebut. Mirip namanya dek :D.
Perjalanan berlanjut mengikuti kelok, menembus bukit, naik
bukit, turun bukit, dan mendekati kecamatan Sekongkang, teman saya tiba-tiba
menyapa seorang paruh baya dengan teriakan ”pak
suharrr...”. Kemudian kami diminta untuk mampir dirumah beliau. Setelah ngobrol ngalor ngidul, saya mengetahui
bahwa pak Suharman ini adalah
orang Jember. “Disini banyak kok orang
Jawa, “lha iki ae yo wong jember” kata
pak Suhar menunjukkan tetangganya. Pak suhar disini menjadi petani dan nyambi ngojek. Sama dengan pak Budi yang
sudah di Sumbawa berpuluh-puluh tahun bertani.
Dari sini, tujuan kami masih 30 km lagi. Desa Aikangkung.
18:30 WITA – Kecamatan Sekongkang
Bersambung
Comments
Post a Comment