catatan perjalanan : SUMBAWA , Tanah Samawa dengan pesona tak terhingga , Private Beach, Snorkling tanpa tiket


DOC : pribadi
Sore itu menjadi sedikit tergesa-gesa dengan waktu yang mepet  sedangkan saya berada di kota Batang. Setidaknya tujuan ahir saya ke stasiun Pekalongan lebih dekat dari posisi saya sekarang. Namun saya harus ke kecamatan sebelah, barulah saya ke stasiun Pekalongan. Tujuan awal perjalanan  saya ini kurang lebih 45km dari posisi saya sekarang. Melewati beberapa hutan garapan penduduk yang banyak di tumbuhi Pohon Jati berusia puluhan tahun. Subah, itu tujuan saya kali ini dengan melewati kandeman, tulis, baru kemudian subah. Dengan sedikit tergesa saya pacu kendaraan 125cc ini. Sedikit oleng kanan-kiri dikarenakan permukaan aspal jalan deandles atau biasa disebut jalur pantura yang tidak sama. Banyaknya gelombang yang muncul karena dilewati berbagai macam angkutan berat. Memang pantura sebagai jalur lintas pulau dan lintas provinsi juga menyebabkan aspal yang cepat rusak. Dahulu ada jembatan timbang yang mengukur berat muatan layak jalan atau tidak. Namun setelah Gubernur Jateng marah besar setelah mengetahui bagaimana kenyataan di lapangan, maka seluruh jembatan timbang se Provinsi Jateng ditutup.  Sedikit mereview hasil projek gila dari seorang Herman William Deandles yang membentang dari  Anyer-Panarukan sepanjang 1000km dengan waktu pengerjaan 1809-1810. 1 tahun untuk 1000 km. *Mungkin kalau pengerjaan sekarang agak mustahil ya. Secara pimpinan kita memutuskan siapa kapolri aja makan waktu berbulan-bulan :p*. Ribuan orang mati demi jalan yang  berumur 200 tahunan ini. Alasan utama deandles membangun jalan adalah mempertahankan Jawa dari serbuan Inggris dan juga sebagai jalur angkut rempah-rempah. Banten merupakan tempat yang paling banyak memiliki cabang-cabang jalan deandles , karena Banten cukup banyak juga menghasilkan rempah-rempah. Kondisi jalan deandles ini pun sekarang menjadi cukup vital. Terlebih akan ramai dilewati ketika musim lebaran tiba. Kalau seandainya menemui kemacetan di daerah Kab. Batang ada jalur alternatif, yaitu melalui alun-alun kota Batang – Blado – Reban – Bawang –Sukorejo – Parakan –Temanggung – Magelang – Jogja. Atau jalur lain, yaitu Batang – Bandar – Limpung – Tersono – Sukorejo – Weleri – Semarang.
                Tepat waktu atau memang kebetulan ketika sampai rumah yang saya tuju, pintu akan dikunci. Sore ini menjadi sore yang cukup mengharukan dan juga sedikit sibuk, setidaknya untuk keluarga teman saya ini. Saya tinggal kunci dan STNK motor saya. Tak lupa juga meninggalkan beberapa pisau yang biasa saya kantongi. Saya kembali menyusuri jalan yang baru saja saya lewati. Melewati shelter-shelter kayu jati gelondongan, trailer dan truk-truk dengan tonase yang besar parkir di pinggir jalan. Sudah jadi rahasia umum, terkadang ada juga wanita-wanita bawaan para supir. Sembari mengirim pesan pamitan kepada Ibu saya, saya mendengarkan candaan hangat keluarga teman saya ini tentang pulau seberang yang nanti akan kami lewati. Tujuan kali ini adalah Desa Aikangkung, Kecamatan Sekongkang, KSB, NTB. Eko akan tinggal disana dan saya mengantarkan. Rencananya, kami dari Stasiun Pekalongan naik Kertajaya sampai Pasar Turi kemudian pindah ke Gubeng naik Probowangi sampai pojokan rel Pulau Jawa. Harusnya pojokan rel adalah Panarukan, namun berhubung sudah tutup jalurnya maka saya sebut saja Banyuwangi sebagai ujungnya.
12/02/2015. 18.15 WIB – Stasiun Pekalongan
                Kurang lebih 45 menit perjalanan kami dari Subah sampai Stasiun Pekalongan. Pukul 18.45 WIB, petugas memberitahukan kereta yang akan kami tumpangi sudah datang. Cukup mahal untuk tiket Pekalongan-Pasar Turi yang kami pegang saat ini sebesar 135ribu per orang. Menurut petugas loket, tarif akan turun sekitar bulan April tahun ini.
Kami pamitan dan berangkat ke Pasar Turi. Kami sampai di Pasar Turi pada pukul 12:45 WIB ke esokan harinya. Kereta selanjutnya start dari stasiun Gubeng pukul 04:30 WIB. Kami masih mempunyai beberapa jam untuk istirahat. Pasar Turi cukup besar dan bersih stasiunnya. Kami mencari mushola dan smooking area yang berada di sisi selatan. Untuk pintu keluar berada di sisi utara. Saya tidur sampai pukul 03:41 WIB, Eko yang entah galau atau ingin menjaga barang bawaan tidak tidur.
13/02/2015. 03:50 – Stasiun Pasar Turi ke Gubeng
                Ada beberapa pilihan untuk sampai ke Gubeng. Ada taksi dengan tarif kurang lebih 30-50 ribu (mungkin karena malam juga), Ojek dengan tarif kurang lebih 30 ribu per orang, naik angkot 2 kali yang katanya tarif berkisar 10-20 ribu, atau becak dengantarif 35ribu. Ahirnya kami jatuhkan pilihan dengan naik becak melewati jl. Raden saleh, jl. Bubutan, pasar genteng sebelah flyover, dan sampai stasiun Gubeng. Kalau dikira-kira hanya berjarak 14 km saja dari Pasar Turi.  Sesampai di gubeng kami beli nasi bungkus seharga 5 ribu, dan segelas kecil kopi item seharga 3ribu. Air mineral ukuran sedang 3 ribu.
                Kereta berangkat tepat waktu dan kami sampai di Banyuwangi Baru pukul 11:41 WIB. Sesuai tulisan di tiket. On time. Karena kami cukup kelelahan dan kerepotan jika jalan kaki ke masjid, kami berniat untuk jama ta’khir sholat sesampai di kampung Melaya nanti.  Pukul 12:30 WIB, ahirnya kami bertemu dengan Pak Harry bagian Kalog untuk mengambil motor yang sudah kami kirimkan dari Pekalongan.  Fyi saja,untuk kalog pekalongan bisa menghubungi Pak Nanang. Cukup murah jika dibandingkan ekspedisi lainnya. Sempat terpikir motor langsung dikirim ke Aikangkung. Namun ternyata ongkir hampir sama dengan membeli motor bekas juga. Ahirnya dipilih opsi mengendarai motor dari Banyuwangi-Aikangkung. Lebih hemat, lebih banyak perjalanan, lebih banyak pengalaman. Kami makan terlebih dahulu di warung kamila dan habis 65 ribu untuk 2 porsi makan lauk cumi dan hati ayam, ditambah kopi, jus, sebungkus rokok dan promagh. Bi ismillahi ar rahman ar rahim, perjalanan Banyuwangi-Sumbawa dimulai.
                Pukul 13:30 WIB, kami sampai di pelabuhan Ketapang. Tiket Gol.2 kami kantongi seharga 25ribu untuk satu motor. Perjalanan menyeberang kurang lebih 1 jam dan kami langsung perjalanan ke kampung Melaya. Pukul 16:23 WITA, kami berhenti di masjid Nurul Yaqin, candikusuma, Tuwed, kec Melaya, Kab jembrana, Bali. Hujan sempat agak deras dan kami istirahat sebentar.
                Pukul 18:00 WITA, kami berhenti melepas mantel di Pakukutan. Lokasi di Pakukutan cukup bagus untuk dijadikan destinasi. Saya membayangkan naik karavan, dan buka tenda di tepi pantai. Pantainya pasir hitam dan di pinggir pantai banyak pohon kelapa dan rumput yang hijau menyegarkan mata. Sayangnya saya tidak sempat mengambil foto di sini. 
Arah perjalanan kami dari Pakukutan adalah Denpasar-arah Sanur-Gianyar-Bypass jalan I.B Mantra-Padangbai. Seingat saya dari arah perjalanan dari timur, ada pertigaan menuju kota (ada tugu kecil ditengah) kalau lurus adalah jalur searah, kemudian kita ambil arah kiri kemudian kanan lurus.  Ketemu dengan perempatan besar, ambil ke kiri arah Denpasar. Ada petunjuk jalan di sebelah kiri atas. Ikuti jalan tersebut dan cari arah sanur. *ada pertigaan ‘Y” kalau ke kanan arah pantai sanur, ambil yang kiri* itu lurus nanti ketemu gapura papan Bypass Jl.Ida Bagus Mantra. Dahulu sebelum ada bypass ini kalau mau ke padangbai harus lewat Amlapura dahulu, melewati perkampungan dengan jalan lebih rumit dan lebih jauh.  Setelah mengikuti bypass ini nanti akan ada pertigaan kecil. Di sebelah kiri jalan, ada SMK kalau ndak salah. Kalau lurus ke arah Amlapura, ambil belok kanan. Ikuti jalan tersebut dan sampailah di Pelabuhan Padangbai. Fyi aja kalau ingin shalat ada masjid disebelah pelabuhan. Arahnya masjid adalah jalan yang sebelah kanan (kalau ke kiri adalah jalan masuk ke pelabuhan). Ikuti jalan kecil tersebut nanti di sebalah kiri jalan ada gapura kecil. Masuk. Biasanya masjib akan tutup pukul 10 malam. Tambahan nih, sebisa mungkin hindari sampai Pelabuhan lembar pada dini hari, usahakan setelah terbit matahari.  Sekedar jaga diri saja.
Kami baru masuk ke pelabuhan sekitar pukul 11:10 WITA dan motor baru bisa masuk kapal ketika pukul 02:00 WITA.  Cukup lama antri karena gate kapal yang tadinya ada 2, salah satunya roboh. Saat itu saya lihat masih dalam perbaikan. Yosh.....perjalanan kapal selama 5 jam kedepan siap dimulai.
Agak kaget saya ketika naik rest room yang ternyata penuh. Bahkan sampai dak kapal atas, VIP room, smoking room, dan ahirnya kami senderkan keril 90 liter saya di depan canteen. Eko sudah tepar nglongsor juga. Fix dah tidur disini.
Sepertinya agak cepat 30 menit  dari perkiraan saya, karena pukul 06:30 WITA sudah sampai di Pelabuhan Lembar. Lanjut dah ke Narmada. Sampai di Narmada, tepatnya di depan Taman Narmada pukul 07:48 WITA. Nyarap  dulu sama seafood. Sengaja saya pesan teh karena tiba-tiba ingin minum teh khas Jawatimur-an.  Sewaktu saya di pasuruan habis nanjak Arjuna, tehnya pakai vanila. Wuiihh, itu mantab kali rasanya. Namun, disini ternyata berbeda rasanya, ada sedikit rasa “mirip” kopi di teh itu. Warnanya gelap juga. Berbeda dengan teh di Jawa juga sih :D. Ketika kami disini, Eko dikabari bahwa Susana, teman kami, mau nikah. Duh dek, baru dikangenin eh malah udah nikah. Besok kalau udah nikah ndak isa ngejek nih. Udah ada pawangnya ;p.
Usai makan kami mlipir ke Tanak Beak dahulu, menemui kenalan Eko disana. Pak Aulia yang ternyata setelah ngobrol kesana kemari, punya teman yang sekantor sama Bapak. Ah, jauh-jauh ke Lombok, ketemu saudara juga :D. Disini kami rest dari jam 10.30-15:00 WITA :D. Disini-pun istri Pak Aulia juga dari Jogja. Aih, kemana-mana masih ada saudara rasanya kalau begini. 
Kalau melihat jam dan melihat sudah jam setengah 6 sore, biasanya saya kelabakan belom mandi lah, belom shalat ashar lah, belom ngasih  makan kucing, dll. Namun kali ini jam 6 terasa beda. Masih terasa hangat sinar matahari dan rona jingga masih menggelayut manja. Rasanya hommie  disini. Secangkir kopi menemani, didepan mata ada hijau terhampar, naik-kan pandangan sedikit disambut jingga yang berusaha menutupi biru cakrawalawa, dan samar-samar juga teriakan anak-anak kecil bermain disertai dengan kicau burung yang entah apa jenisnya terkadang sliweran di atas saya.
Lepas maghrib, saya ingin muter-muter kota mataram dan ingin cari carabiner saya yang hilang. Oke fix, kali ini tujuan adalah outdoor store  dan spot apapun yang enak untuk nongkrong. Malam itu kami buta arah. Hanya bermodalkan tanya orang dan cari papan petunjuk arah, kami menemukan Eiger Store yang beralamatkan di Jl. Panca Usaha No.29F. Cakranegara Mataram. Lumayan, ada beberapa store lain juga . Rei, Consina, dan Petualang (kalau ndak salah) yang berada di sepanjang jalan ini. Fyi aja, jalan yang kami lewati ini adalah satu arah. Nah, dari outdoor store ini lurus terus, abaikan perempatan, nanti sampai Alun-alun Udayana salah satu tongkrongan yang cukup ramai, katanya. Namun, entah kami sudah melewati atau memang kami sudah di Udayana, kami merasa kurang cocok dengan lokasinya. Karena kami mengharap makanan khas Lombok dan kami tidak menemukannya. Kami lanjutkan saja dengan mencari arah ke Sweta, dan kami tersesat. Kalau dari yang saya catat, kami tersesat ke jl. Panjitilar-ampenan,-jl sultan silahudin-karanggede-pagesangan barat-karanganyar mentok ketemu pertigaan gede ambil kiri sudah jalur ke sweta. Kemudian kami mencari lokasi tempat jualan Plecing kangkung yang paling enak. Saya lupa jalan sampai kesini, hanya yang saya ingat adalah lokasi ini di depan dealer Yamaha Sweta dekat jembatan penyebrangan. Warung ini buka di emperan toko yang kalau siang menjadi bengkel sepertinya. Menu yang ada dipesan semua oleh Eko. Ada plecing kangkung (2 porsi), sate rembiga (2 porsi), beberuq (2 porsi), dan ayam taliwang (1 ekor).  Buset, ini banyak banget. Ahh...biarin dah, kapan lagi saya bisa nikmatin makanan ini lagi kalau ndak sekarang. Beruntung waktu itu saya cukup kosong perutnya, jadi saya angkut ke perut dah itu semua makanan. Kalau dari lidah saya yang terbiasa makan makanan yang cenderung manis, otak saya lelet menerima sinyal dari lidah saya tentang kuah sate rembiga. Sampai tulisan ini saya tulis, saya masih ingat rasanya. Ada seperti rasa kelapa, kencur, kacang yang di haluskan, (mungkin) kunir, dan beberapa rempah saya kira. Berbeda dengan beberuq yang berisi mentimun, terong yang bulet itu (-bukan yang lonjong ungu *entah apa namanya), dan sedikit kuah yang kalau dimakan bener-bener mak-nyuuuss kalau om Bondan bilang. Berbeda lagi dengan plecing kangkung. Isinya adalah kangkung (kangkung disini berbeda dengan kangkung yang saya biasa makan di Jawa. Disini walau sudah dimasak, masih terlihat segar. Atau mungkin teknik masakanya yang beda?. Disini saya makan kemangi juga beda. Lebih wangi, kemanginya. Wangi-nya lebih menusuk hidung namun masih sama-sama segar dilalap. Oh ya,  ayam taliwang seperti ayam kampung sepertinya. Kalau ayam pedaging saya hafal tekstur dagingnya. Nah, yang nanti akan menjadi bahan kekagetan saya ketika sampai di Sumbawa adalah harga makanan juga. Karena begitu nikmat dan banyaknya yang saya makan  tadi hingga saya sampai berfikir “lidah mana yang kau dustakan??”, harganya 45 ribu rupiah saja.  Lidah mana yang kau dustakan? ;p
Malamnya, kami ngupi bareng dengan Pak Aulia dan Edjan sampai agak malam. Edjan adalah tetangga Pak Aulia yang mengalami Slow Learning, namun jujur orangnya.
15/02/2015 – Tanak Beak
01:04 WITA, saya melirik jam di handphone. Saya sempatkan repack keril, shalat dan mencatat semua hal yang sudah saya lewati semenjak saya bangun tidur.
Waktunya tidur sampai subuh. Selamat tidur Semarang, Bali, dan Lombok.
Kami kecolongan bangunnya, dan terbangun jam 8 pagi. Sial. Perjalanan kami kurang lebih 2 jam untuk sampai ke palabuhan kayangan.  Jalur yang harus kami lewati adalah Narmada-Lotim-Mas Bagik- Anjani-Suralaga (-disini banyak yang jual bantal dan blemeng) – aikmel (nah, diperempatan ini saya merasa masygul, ingin rasanya saya mengambil jalan lurus dan tidak belok kanan.  Sekiranya saya tidak ingat yang saya antar ini adalah seorang pengajar mungkin sudah saya paksa  habis-habisan untuk mampir barang sehari dua hari ke tahta Dewi Anjani dan membasuh muka di Segara Anak di balik awan  tersebut.
13:00 WITA -  Pelabuhan Kayangan
Pukul 13.10 kami sudah berada di kapal, bongkar sauh dari pelabuhan kayangan menuju Tanah Samawa. Hawa semromong atau angin panas terasa mengejar tubuh saya untuk melepas jaket. Saya sempatkan melihat ujung tanah yang menggendong Segara Anakan, Gunung Rinjani. Dari laut lepas ini saya  bangga bisa mempunyai tumpah darah dengan berbagai macam keindahan ciptaan Tuhan. Rinjani salah satu keagungannya.
Sampai di Tanah Samawa, teman saya kaget karena sudah ada retail yang sudah berdiri. Ada dua buah lagi. Dia menceritakan kalau disini katanya tidak boleh didirikan retail macem gituan. Namun sekarang sudah nyata berdiri.  Terlihat sedikit kontras dengan suasana di Jawa. Di depan retail modern ini, saya duduk bersebelahann dengan sapi. Memang di Sumbawa rata-rata hewan peliharaan di lepas begitu saja. Makan ya cari sendiri, besok kalau dibutuhkan ya ambil dijual atau dipotong. Selain sapi, tentu saja kuda, kambing, dan achong. Achong merupakan sebutan untuk anjing di daerah lombok. Saya jadi teringat seseorang yang sering dipanggil dengan nama tersebut. Mirip namanya dek :D.
Perjalanan berlanjut mengikuti kelok, menembus bukit, naik bukit, turun bukit, dan mendekati kecamatan Sekongkang, teman saya tiba-tiba menyapa seorang paruh baya dengan teriakan ”pak suharrr...”. Kemudian kami diminta untuk mampir dirumah beliau. Setelah ngobrol ngalor ngidul, saya mengetahui bahwa pak Suharman ini adalah orang  Jember. “Disini banyak kok orang Jawa, “lha iki ae yo wong jember” kata pak Suhar menunjukkan tetangganya. Pak suhar disini menjadi petani dan nyambi ngojek. Sama dengan pak Budi yang sudah di Sumbawa berpuluh-puluh tahun bertani.  Dari sini, tujuan kami masih 30 km lagi. Desa Aikangkung.
18:30 WITA – Kecamatan Sekongkang
Bersambung

Comments

Popular posts from this blog

KONTAK BASECAMP GUNUNG SE-INDONESIA

Pendakian Gunung Prau Via Pranten Kab.Batang Jawa Tengah

Tips Mahasiswa Mengumpulkan Tugas Ke Email Dosen